Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Senin, 30 Mei 2016

Efektivitas Penegakkan Hukum ditinjau dari Aspek Kelembagaan



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah     
Penegakan hukum adalah istilah yang sering kita dengar sehari-hari, dimana penegakan hukum selalu dikaitkan dengan hukum, keadilan dan lembaga penegak hukum. Penegakan hukum juga menjadi problematika yang terus dibahas diruang publik maupun privat, hal ini dikarenakan Indonesia yang merupakan negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan seluruh aktivitas negara dan masyarakat sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945.  
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintahn dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.[1] Hukum bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, dengan hukum tertentu.[2] Pembahasan mengenai penegakan hukum tidak hanya seputar hukum sebagai dasar negara, akan tetapi penegakan hukum berkaitan dengan berbagai permasalahan yang ada dimasyarakat begitu juga mengenai peran serta masyarakat dalam mewujudkan negara yang sejahtera.
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum.[3] Indikasinya ketika dalam penegakan hukum semata- mata mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtssicherheit) dengan mengabaikan aspek keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium bahwa cita hukum adalah keadilan (justice) dalam konteks perkembangan abad 21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan (Belanda: rechtsvaardigheid) di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.[4]
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.[5]
Maka peran masyarakat menjadi penting dalam penegakan hukum. Apabila tatanan masyarakat dalam aturan normatif berjalan dengan baik maka hal itu mendukung adanya kinerja para penegak hukum, sehingga membentuk penegakan hukum yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat Indonesia berkembang secara dinamis sehingga hukum sulit untuk selalu mengakomodir berbagai permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat. Selain itu perkembangan masyarakat menggeser norma-norma yang berlaku yang ternyata berdampak pada berbagai aspek kehidupan terutama pada hukum itu sendiri.
Berbicara mengenai penegakan hukum, dapat ditinjau dari berbagai aspek yakni mengenai kebijakan, pelaksanaan, pengawasan dan kelembagaan. Dari berbagai aspek tersebut dapat ditelaah lebih jauh bagaimana penegakan hukum yang baik dan sesuai dengan masyarakat. Keseluruh aspek merupakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan demi majunya penegakan hukum di Indonesia.
B.     Rumusan masalah :
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana efektivitas penegakan hukum ditinjau dari aspek kelembagaan ?

           


PEMBAHASAN
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Maka mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat). Di samping itu, mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. [6]
Sudah kita ketahui lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah rendahnya moralitas penegak hukum, penegak hukum merupakan bagian paling penting, dimana lembaga penegak hukum merupakan piranti dalam penegakan hukum itu sendiri. Perlu diketahui lembaga-lembaga mana saja yang berperan dalam penegakan hukum di Indonesia serta sejauh mana peran seluruh lembaga penegak hukum.
Penegak hukum di Indonesia antara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan, disamping itu pengacara atau advokat juga disebut-sebut merupakan salah penegak hukum. Masing-masing penegak hukum memiliki wewenang dan peran penting bagi tegaknya hukum di Indonesia.
Frasa “penegak hukum” terdapat pula dalam peraturan yang terpisah antara lain:
a. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan penjelasannya yang berbunyi:
Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.”
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
c.  Pasal 101 ayat (6) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan penjelasannya: Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
Dalam penjelasannya disebutkan: Yang dimaksud dengan “aparat penegak hukum lain” dalam ayat ini antara lain aparat penegak hukum dari Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan Agung.
d.    Pasal 49 ayat (2) huruf i UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan penjelasannya: Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain. Dalam penjelasannya: Yang dimaksud dengan "penegak hukum lain" antara lain kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Penegakkan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penehak hukum oleh undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1.      Penyelidik ialah pejabat polisi negara Repulik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikkan.
2.      Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
3.      Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
4.      Hakim yaitu pejabat peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili.
5.      Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memeberikan bantuan hukum.

Untuk melihat efektifitas penegakan hukum tersebut dapat ditinjau dengan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman.  Lawrence M Friedman membagi sistem hukum menjadi tiga bagian yaitu :[7] (1) Struktur Hukum (Legal Structure), (2) Substansi Hukum (Legal Substance), (3) Budaya Hukum (Legal Culture).
Teori pertama mengenai struktur hukum, Lawrence M Friedman menyebut bahwa suatu sistem struktur menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik.[8] Di Indonesia, struktur penegakan hukum sudah tertata dengan baik, seluruh proses peradilan sudah tersistem. Mulai dari tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan hingga ke Lembaga Permasyarakatan. Sehingga ditinjau dari teori struktur, Indonesia memiliki struktur hukum yang sudah memadai, akan tetapi kurangnya sumber daya manusia dan sarana prasarana yang mendukung berkembangnya penegak hukum menghambat kinerja struktur hukum dan sistem hukum di Indonesia.
Teori kedua dari Lawrence M Friedman menyatakan bahwa substansi hukum menentukan bisa atau tidaknya sebuah hukum dapat dilaksanakan. Substansi juga bermakna bahwa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Selain itu substansi hukum mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Dan hukum yang hidup di masyarakat dapat dijadikan acuan dalam membangun hukum yang berkeadilan.[9]
Di Indonesia memiliki hukum yang dikodifikasi, seperti undang-undang dan berbagai peraturan lain dibawahnya. Selain itu di Indonesia juga masih mengakomodir hukum adat meskipun tidak berlaku universal. Sistem hukum yang berkembang di Indonesia sangat plural. Masing-masing sistem hukum memiliki substansi yang masing-masing bisa saling melengkapi namun juga tidak sedikit yang saling bertentangan. Dari seluruh penegak hukum, masing-masing diantaranya memiliki pedoman pelaksanaan dan dasar kewenangan masing-masing.
Kepolisian diatur di Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik indonesia, Kejaksaan diatur di Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hakim atau Pengadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Sudah diubah menjadi undang undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman. Lembaga permasyarakatan diatur dalam Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan. Penasehat hukum atau advokat diatur dalam Undang-undang no.18 Tahun 2003.
Banyaknya peraturan mengenai penegak hukum, tak berarti penegakan hukum berjalan dengan sempurna. Ditinjau dari substansi peraturannya masih banyak hal yang perlu direvisi lagi. Misalkan Kelemahan Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik indonesia. Komisioner Kompolnas M Nasir mengatakan, terdapat empat kelemahan dalam UU tentang Polri. Menurutnya, empat kelemahan ini bisa menjadi substansi yang diubah dalam revisi UU oleh DPR. Kelemahan pertama, aroma militeristik masih terasa dalam UU Polri yang lahir 12 tahun silam itu. Terlebih lagi, UU tersebut lahir satu tahun setelah Polri pisah dari militer. Hal ini pula yang menjadikan Polri tidak berorientasi pada kekuatan rakyat sipil. Kelemahan kedua, terkait dengan fungsi Polri sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam UU Polri tersebut, tak ada ketentuan yang kuat sehingga dalam pelaksanaan implementasi tugas sehari-hari di lapangan, pengawasan atas kinerja integritas itu kelihatan tidak melekat atau tidak kompetensi. Kelemahan ketiga, dalam UU ini tak mengatur hal-hal yang dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi seluruh tindakan kepolisian. Sedangkan kelemahan keempat, UU ini tidak mengakomodasi prinsip-prinsip yang berorientasi kepada transparansi tindakan.  Sehingga seringkali disalahartikan banyak pihak termasuk masyarakat, dan ini membuat Polri berada pada posisi yang tidak menguntungkan.[10]
Dengan melihat kelemahan substansi hukum dan realitas masih banyaknya kejahatan dimasyarakat maka terlihat bagaimana perkembangan penegakan hukum tidak merespon kebutuhan masyarakat. Hal ini mengakibatkan adanya  jarak antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat. Jika menelisik mengenai hubungan sosial masyarakat dengan hukum maka perlu tinjau pada teori yang ketiga.
Teori Lawrence M Friedman yang ketiga yakni budaya hukum menganggap bahwa sikap manusia terhadap hukum lahir melaui sistem kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya yang berkembang menjadi satu didalamnya. Kultur hukum menjadi suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.[11]
Budaya hukum selalu berhubungan dengan realitas sosial masyarakat. Realitas ini menunjukkan bahwa perubahan hukum meliputi segala segi kehidupan, sehingga dengan demikian mempunyai jangkauan yang amat luas, sebab terjadinya juga bermacam-macam, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan mental manusia, kemajuan teknologi dan aplikasinya dalam masyarakat, kemajuan sebagai sarana komunikasi, transportasi, urbanisasi, perubahan tuntutan manusia, peningkatan kemampuan manusia, dan lain-lain.
Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah justru hukum tertinggal di belakang objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka akan timbul ketegangan yang semestinya harus segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah ini selalu terlambat dilakukan.[12]
Hubungan fungsional antara sistem hukum yang dipakai dengan struktur masyarakat dapat dilihat pada pandangan Emile Durkheim, yang mengatakan sebagai berikut: Sistem hukum yang represif biasanya berlaku dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, karena ia mampu mempertahankan kebersamaannya dalam masyarakat. Sedangkan sistem hukum restitutif mempunyai hubungan fungsional dengan masyarakat melaluui solidaritas organik, karena sistem ini, memberikan kebebasan kepada masing-masing individu untuk berhubungan satu sama lain menurut pilihannya sendiri. Disini hukum hanya mengupayakan untuk mencapai keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang berinteraksi.[13] Maka lemah dan kuatnya penegak hukum tergantung kepada budaya hukum di masyarakat, pemahaman dan tingkat kesadaran hukum di masyarakat.
Hukum dimasyarakat belum menjadi budaya yang positif, terlihat dari munculnya istilah ‘hukum untuk dilanggar’ dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dijadikan suatu kebiasaan, seperti menerobos rambu lalu lintas. Namun tidak dipungkiri pelanggaran hukum itu sendiri juga dilakukan oleh para penegak hukum, seperti korupsi di kalangan atas dan razia ketertiban (tilang) secara ilegal.
Penegak hukum bukanlah sebuah lembaga yang abadi, tidak pula alat untuk mencapai suatu keadilan. Penegak hukum berjalan dengan efektif apabila secara substantif terus diperbarui seiring perkembangan masyarakat, selain itu kualitas dan kepercayaan masyarakat itu sendiri mempengaruhi kemajuan penegakan hukum oleh para penegak hukum. Ketertiban masyarakat bukan tergantung dari penegak hukum saja akan tetapi peran masyarakat yang sadar akan pentingnya penegakan hukum itu sendiri.




PENUTUP
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum.[14] Indikasinya ketika dalam penegakan hukum semata- mata mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtssicherheit) dengan mengabaikan aspek keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium bahwa cita hukum adalah keadilan (justice) dalam konteks perkembangan abad 21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan (Belanda: rechtsvaardigheid) di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.
Pemaparan teori sistem hukum juga dikemukakakan oleh oleh Lawrence M Friedman yang membagi sistem hukum menjadi tiga bagian yaitu : Struktur Hukum (Legal Structure); Substansi Hukum (Legal Substance); Budaya Hukum (Legal Culture).
Teori pertama mengenai struktur hukum dalam teori Lawrence M Friedman menyebut bahwa suatu sistem struktur menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Teori kedua dari Lawrence M Friedman menyatakan bahwa substansi hukum menentukan bisa atau tidaknya sebuah hukum dapat dilaksanakan. Substansi juga bermakna bahwa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Selain itu substansi hukum mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Dan hukum yang hidup di masyarakat dapat dijadikan acuan dalam membangun hukum yang berkeadilan. Teori yang ketiga yakni budaya hukum menganggap bahwa sikap manusia terhadap hukum lahir melaui sistem kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya yang berkembang menjadi satu didalamnya. Kultur hukum menjadi suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan
Penegak hukum dapat bekerja dengan baik apabila :
1.      Peningkatan moralitas penegak hukum.
2.      Sumber daya manusia dan sarana prasana yang diperbarui serta dimaksimalkan.
3.      Peraturan atau sistem hukum yang terus diperbarui sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.
4.      Membudayakan hukum dalam masyarakat.
5.      Menghapuskan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat sehingga mengurangi angka kejahatan.


DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, e-book.
Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001.
Friedman, Lawrence M. Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social Science Perspective), Bandung: Nusa Media, 2009.
Hartono, Sunaryati, CFG, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenhallindo, 2007.
Manan H., Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Rahardjo, Satjipto Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Buku Kompas, 2006.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: 1966.





[1] Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: 1966), hlm.13.
[2] J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenhallindo, 2007), hlm. 30.
[3] Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 169.
[4] Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm. 30
[5] Penegakan Hukum, Prof. Jimly Asshiddiqie, e-book.
[6] Soerjono 2002 34
[7] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social Science Perspective), Penerbit Nusa Media, Ujungberung, Bandung, 2009, Hlm 33.
[8] Ibid.
[9] Ibid., Hlm. 34.
[11] Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A Social Science Perspective), Penerbit Nusa Media, Ujungberung, Bandung, 2009, Hlm 34.
[12] Abdul Manan, H., Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 72.
[13] Sunaryati Hartono, CFG, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 83.
[14] Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 169.