PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Maasalah
Indonesia
merupakan negara hukum yang berarti membatasi segala tingkah laku manusia
dengan hukum. Hukum di Indonesia berkembang dengan cepat, sejalan dengan
majunya peradaban manusia di Indonesia. Bicara mengenai hukum di Indonesia,
terdapat berbagai cabang hukum yang sering kita pelajari, salah satunya dalah
hukum pidana. Hukum pidana melindungi masyarakat dan negara dari
kejahatan-kejahatan. Hukum pidana di Indonesia mengalami pembaharuan dan terus
mengalami pergeseran, dimana hukum pidana harus bisa menyelesaikan berbagai
jenis kejahatan yang terus berkembang, akan tetapi hukum pidana bukanlah alat
utama untuk menyelesaikan berbagai jenis kejahatan tersebut. Hukum pidana
adalah pilihan terakhir dan tetap pada tujuannya menciptakan masyarakat yang
tertib aman dan damai, meski seringkali perkembangan hukum pidana selalu
dibilang terlambat atau jauh dibelakang dibandingkan kejahatan-kejahatan publik
di masyarakat.
Hukum pidana di
Indonesia, mengenal sebuah sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana menurut Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.[1] Pada
kesempatan lain Marjono Reksodiputro mengatakan bahwa sistem peradilan pidana
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari empat sub sistem, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.[2] Dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu
istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due
process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses
hukum yang layak atau adil.
Due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa
pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat
mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan
sewenang-wenang.[3]Suatu
proses hukum yang adil dan
layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara
pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Suatu hukum yang adil dan layak bukan hanya secara formil (undang-undang)
namun mengandung penghormatan terhadap hak-hak yang dimiliki warga masyarakat
meskipun ia merupakan pelaku kejahatan. Selain itu Due Process Model adalah
model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian (Hak Asasi Manusia) dimana
kedudukan seseorang terdakwa/ tersangka masih melekat HAM padanya, sehingga mereka
seharusnya diperlakukan tanpa diskriminasi, model ini bertitik tolak dari nilai
yang bersifat anti terhadap kekuasaan.
Lembaga permasyarakatan merupakan salah satu subsistem dalam sistem
peradilan pidana. Maka menerapkan due proces of law merupakan suatu
keharusan untuk mencapai cita-cita sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah
sistem, SPP mempunyai tujuan antara lain:1) mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, 2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana 3)mengusahakan
agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.[4]
Sementara Muladi menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan jangka pendek, yaitu
sosialisasi, tujuan jangka menengah yaitu pencegahan kejahatan, dan tujuan
jangka panjang untuk kesejahteraan sosial.[5]
Tujuan yang terakhir ini menunjukkan bahwa SPP merupakan pengejawantahan dari
politik kriminal, disamping peningkatan peran pers dalam membentuk persepsi
buruk tentang kejahatan, dan upaya preventif, seperti social hygienes,
dan lain-lain.[6]
Bicara mengenai Lembaga
Permasyarakatan maka merujuk pada tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan menurut Rousseau
telah mencari dasar pembenaran dari pemidanaan pada pemikirannya yang
terkenal dengan ‘teori kontrak sosial’. Begitu juga Beccaria telah mencari dasar pembenaran dari
pemidanaan pada kehendak yang bebas dari warga negara, yakni yang telah
mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara, agar mereeka itu
mendapat perlindungan dari negara. Teori yang dikembangkan Rousseau dan
Beccaria diatas biasa disebut dengan teori pembalasan (vergelding theory) sebagai
tujuan utama pemidanaan.[7]
Mengingat teori pembalasan
hanya mementingkan pengimbalan semata-mata tujuan diadakan pemidanaan, tanpa
memperhatikan tujuan praktis, dengan maksud untuk memperbaiki penjahat, maka teori ini mendapat
kritik kemudian melahirkan teori tujuan (doel theory). Mempidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu
kejahatan,akan tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertrtentu yang bermanfaat. Jadi
dasarnya pembenaran diadakan pemidanaan menurut teori ini terletak pada
tujuannya. Dengan demikian, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat suatu
kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.[8]
Menurut Prof. Muladi dan
Prof. Barda Nawawi Arief, Secara tradisional teori pemidanaan pada umumnya
dapat dibagi menjadi dua kelompok teori, yaitu : teori absolut atau teori
pembalasan dan teori relatif atau tujuan. Teori absolut, pidana dijatuhkan
semata-mata orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (Quia
Peccatum est), menurut teori ini setiap kejahatan harus diikti dengan pidana.
Sedangkan menurut teori relatif, pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Pidana dijatuhkan bukan karena
orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan
kejahatan (ne peccatum).[9]
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :
Apa saja hak-hak
narapidana dalam lembaga permasyarakatan di Indonesia dan apakah hak-hak
tersebut telah terpenuhi sebagai wujud tercapainya due proces of law dalam
sub sistem peradilan pidana yaitu Lembaga Permasyarakatan?
PEMBAHASAN
A. Hak-hak
narapidana dalam Lembaga Permasayrakatan
Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia,
tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen
Kehakiman).[10]
Menurut Mardjono Reksodiputro salah satu tujuan sistem
peradilan pidana adalah mengusahakan agar mereka
yang pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi lagi kejahatannya[11]. Tujuan yang diharapkan oleh sistem peradilan pidana tersebut adalah
berkaitan dengan pemidanaan. Pemidanaan dalam sistem peradilan pidana merupakan
proses paling kompleks karena melibatkan banyak orang dan institusi yang
berbeda. Di Indonesia pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi vonis oleh hakim
berupa pidana penjara, selanjutnya vonis hakim tersebut akan dilaksanakan oleh
Jaksa. Pidana penjara ini dilaksanakan dengan “memenjarakan seseorang dalam
batas waktu tertentu sehingga ia tidak bebas dalam melakukan aktivitasnya di
masyarakat seperti sediakalanya”[12]. Pengertian memenjarakan
ini dipahami sebagai suatu upaya penempatan seseorang pada tempat tertutup
yaitu penjara yang pada saat ini disebut Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga
Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, merupakan wadah
bagi narapidana untuk menjalani masa pidananya serta memperoleh berbagai bentuk
pembinaan dan keterampilan. Melalui pembinaan dan keterampilan ini diharapkan
dapat mempercepat proses resosialisasi narapidana[13].
Meski dalam pernjara, hak-hak dasar
narapidana sebagai manusia seharusnya tetaplah didapatkan. Namun potret lembaga
permasyarakatan di negeri ini sangatlah tidak tercermin. Padahal lembaga
permasyarakatan adalah sistem peradilan pidana terakhir, yang akan menentukan
tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan dan menentukan kehidupan berikutnya
bagi narapidana. Dalam lembaga permasyarakatan pula dapat dilihat due proces
of law sebagai salah satu upaya peradilan yang adil dapat tercapai atau
tidak.
Berikut ini uraian hak-hak
narapidana yang telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, yaitu:
a.
melakukan
ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga,
penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i.
mendapatkan
pengurangan masa pidana (remisi);
j.
mendapatkan
kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan
bersyarat;
l.
mendapatkan
cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Lebih khusus
lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan (“PP
32/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2006
(“PP 28/2006”), dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
(“PP 99/2012”).
B. due proces of law dalam
lembaga permasyarakatan.
Secara psikologis penempatan orang dalam penjara pada
hakikatnya merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi
segala kebutuhannya. Dalam Sosiologi ekonomi menyatakan, suply and demand dalam
hubungannya dnegan faktor lain selalu menjadi variabel berpengaruh (dependent
variables). Berarti, pengekangan kebebasan dalam suatu pemenjaraan akan
berdampak pada hubungan sosiologis antara petugas (yang powerful) dan
penghuni penjara (yang powerless). Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang
ini mengakibatkan konflik laten dan terus menerus dealam sebuah sistem sosial
masyarakat penjara.[14] Kekuasaan inilah yang
akhirnya menimbulkan pertukaran kepentingan antara penjaga lapas dan penghuni
lapas. Oknum petugas memanfaatkan kekuasaannya untuk menambah ‘pemasukan’
secara pribadi, begitu pula penghuni lapas yang dapat memanfaatkan petugas untuk
memenuhi kebutuhannya di lapas. Atas dasar kekuasaan tersebut, oknum petugas
pun dapat semaunya bertingkah terhadap narapidana, oknum petugas tidak dapat
melaksanakan perannya dengan hati nurani, sehingga seringkali terjadi kekerasan
psikis seperti membentak atau berkata kasar.
Secara ideal, proses akomodasi melalui
sistem formal, diamana pada intinya tukar menukar kepentingan didalndasi aturan
yang berlaku. Hak-hak penghuni, yang pada hakikatnya merupakan berbagai
keinginan untuk mengatasi kesakitan-kesakitan yang dialami narapidana,
dipertukarkan dengan kelakukan baik. Hak-hak tersbut tentunya seuai dengan
undang-undang. Kendati demikian, secara faktual, kondisi tersebut seringkali
sulit dicapai, karena berbagai alasan antara lain, masih rendahnya kualitas dan
kesejahteraan petugas, dan disisi lain adanya kecenderungan status sosial
ekonomi yang makin tinggi. Keadaan demikian pada gilirannya mengakibatkan
hubungan tidak seimbang secara ekonomi, antara beberapa golongan penghuni dan
oknum petugas. Hal itu berarti bahwa pertukaran kepentingan terjadi antar
perorangan dan tidak dapat dielakkan terjadinya KKN antara petugas dengan
penghuni.[15]
Misalnya, narapidana yang bebas keluar masuk penjara untuk kepentingan pribadi.
Kekerasan atau agresi tidak hanya terjadi antara
oknum petugas dengan narapidana, tetapi juga antar narapidana. Narapidana yang powerfull
merasa memiliki kekuasaan dan dapat bertindak semaunya untuk mendapatkan
kepuasan secara pribadi. Selain berbagai jenis kekerasan tersbut, di media masa
juga sering mengabarkan mengenai peredaran narkoba dalam lapas, baik hasil
kerjasama dengan oknum petugas maupun tidak. Pada kenyataannya peredaran
narkoba dalam lapas juga merupakan satu indikasi tertutupnya tujuan pemidanan
yang bermakna due proces of law tidak tercapai.
Hak narapidana yang lain adalah
kenyamanan, keamanan dan ketertiban. Dari tahun ke tahun, kapasitas lapas dan
rutan tidak dapat lagi dikatakan nyaman, karena hampir seluruh lapas mengalami overcrowded.
Kapasitas lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan di seluruh Indonesia
hanya sekitar 90.853 orang, akan tetapi jumlah tahanan dan napi pada 2009 sudah
mencapai 132.372. dan terus meningkat. Overcrowded bukan satu-satunya
persoalan penjara. Direktorat Jendral Permasyarakatan Kementrian hukum dan HAM
juga menghadapi overstaying yang pelik. Overstaying dianggap
sebagai salah satu penyebab jumlah penghuni penjara melebihi kapasitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Center for Detentuin Studies (CDS)
menemukan bahwa overstaying merupakan fenimena yang biasa terjadi hampir
di setiap lapas dan rutan, salah satu penyebabnya dalah keterlambatan ekstrak
vonis dan eksekusi putusan.[16] Bagaimana bisa narapidana
mendapatkan haknya apabila tempat tinggalnya
saja tidak nyaman dan pasti akan berdampak pada kesehatan.
Sebagai wujud
perlindungan hak narapidana mengenai pelayanan kesehatan, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia bahkan mengeluarkan peraturan khusus mengenai pengadaan bahan
makanan bagi narapidana, yakni Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan Bahan Makanan Bagi
Narapidana, Tahanan, Dan Anak Didik Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan
Dan Rumah Tahanan Negara Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
(“Permenkumhan 172/2011”).
Lembaga permasyarakatan sebagai ujung
tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan
pemidanaan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sistem
permasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan
permasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi
masyarakat terhadap kemungkinan diulanginnya tindak pidana oleh warga binaan
permasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari
nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.[17]
Secara faktual, upaya pembenahan diri
narapidana telah dilaksanakan dengan berbagai cara berdasarkan undang-undang.
Namun, selain cara diatas ternyata didalam lembaga permasyarakatan, narapidana
secara tidak langsung juga meningkatkan kualitas kejahatan. Seperti yang
dikutip dari berita di republika.co.id[18], bahwasanya lapas justru
menjadi ‘sekolah tinggi kejahatan’ yang melahirkan mantan narapidana yang
melakukankejahatan lebih rapi, terencana, dan kebal terhadap aparat hukum.
Selain itu hak-hak lain yang tidak
terpenuhi adalah hak biologis, dimana banyak Lembaga Permasyarakatan tidak
memiliki ‘bilik asmara’ bagi narapidana yang memiliki pasangan, sehingga gaya
hidup sex bebas dan ‘jual-beli’ perempuan disinyalir terjadi dalam lembaga
permasyarkatan yang berdampak pada
perilaku menyimpang sex seperti homo dan lesbian serta penyebaran penyakit sex
seperti HIV dan AIDS.
Hak-hak lain seperti hak menerima
kunjungan dari keluarga, hak cuti, hak bertemu penasehat hukumnya, hak remisi
dan hak pembebasan bersyarat juga tidak dapat terpenuhi seluruhnya atau
terpenuhi tetapi dengan tidak manusiawi atau dengan prosedur yang seakan-akan
dipersulit oleh oknum petugas Lembaga Permasyarakatan.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat
dilihat bagaimana hak-hak narapidana tidak dapat terpenuhi, sehingga dapat
dikatakan tujuan dari pemidanaan tidak dapat tercapai sepenuhnya. Mengingat
banyaknya undang-undang yang selalu menyertakan ketentuan pidana, yang berarti
menjadikan pidana penjara merupakan upaya utama dan melupakan asas ultimum
remidium yang seharusnya meletakkan pidana penjara adalah jalan terakhir
dari suatu perbuatan kejahatan.
PENUTUP
Indonesia merupakan negara hukum, dengan segala sesuatunya dibatasi
oleh hukum, tujuannya untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban. Banyak
peraturan-peraturan yang muncul merupakan upaya menertibkan masyarakat, tidak
terkecuali pada hukum pidana. Hukum pidana mengatur sedemikian rupa mengenai
perbuatan di ruang publik. Fungsinya agar setiap orang tidak melanggar hak-hak
orang lain. Sehingga tercipta kerukunan dan mencegah adanya kejahatan. Hukum
pidana juga berperan pada usaha memenuhi keadilan bagi orang-orang yang
hak-haknya diciderai oleh orang lain.
Bicara mengenai hak maka berkaitan erat dengan hak individu dan hak
asasi manusia. Hukum Pidana disisi lain ternyata juga membatasi hak manusia,
semisal pada seseorang yang divonis penjara, dalam penahanannya serta proses
peradilannya, banyak hak individual serta kebebasannya tidak dapat dipenuhi.
Akan tetapi hak yang melekat pada diri setiap manusia, seharusnya masih tetap
ada dan bisa didapat meskipun ia berada dalam tahanan.
Hak-hak narapidana inilah yang seringkali diciderai oleh oknum
petugas lembaga permasyarakatan, meskipun undang-undang telah melindungi
hak-haknya. Lembaga permasyarakatan merupakan sub sistem terakhir dalam rantai
sistem peradilan pidana, upaya terakhir ini menadi tonggak penting bagi
narapidana dan masyarakat luas. Upaya terakhir ini tidak lagi dianggap efektif
dilihat dari bertambahnya jumlah narapidana sehingga melebihi kapasitas. Selain
itu terlihat fakta dilapangan, bagaimana hak-hak narapidana terus diciderai dan
bagaimana kejahatan masih saja dapat terjadi meski didalam penjara seperti
peredaran narkoba dan transaksi seks komersil.
Cita-cita peradilan yang layak dan adil (due proces of law) nampaknya
masih jauh dalam tatanan sistem peradilan Indonesia khususnya pada sub sistem
lembaga permasyarakatan.
[1]
Muladi, Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP, 1998. hlm 5.
[2] Marjono Reksodiputro, HAM
dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan, 1984. hlm
86.
[4] Marjono
Reksodiputro, HAM dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan, 1984, hlm 86.
[7] M Zen
Abdullah, Pidana Penjara Eksistensi dan Efektivitasnya,Yogyakarta: Hasta
Cipta Mandiri, 2009, hlm.15
[8] Ibid., hlm.17.
[9] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984,
hlm.10-16.
[10]http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan,
diakses pada hari Selasa 16 Februari 2016,
jam 11:24 WIB.
[11]
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) :
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta,
1996, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia
Dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulam Karangan Buku Ketiga, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum-Universitas Indonesia, hal. 84-85.
[12]
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum,
Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm.125.
[13]
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Bandung : Bina Cipta, 1992, hlm.82
[14] David J cooke
dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, penerjemah : Hary Tunggal, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2008. Hlm.vi.
[15] Ibid., hlm.
vii
[17] Dwija
Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT Rafika Aditama, 2006, hlm.103.
[18]http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/22/mqby2x-lapas-telah-berubah-menjadi-sekolah-tinggi-kejahatan, diakses pada
tanggal 20 Februari 2016.
BY : VANIE_SFD
*MOHON UNTUK MENCANTUMKAN SUMBER (JANGAN ASAL COPAS)
0 komentar:
Posting Komentar