Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Senin, 30 Mei 2016

Hak-hak Narapidana dalam Lembaga Permasyarakat bukan Cerminan Tercapainya Due Proces Of Law



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Maasalah
Indonesia merupakan negara hukum yang berarti membatasi segala tingkah laku manusia dengan hukum. Hukum di Indonesia berkembang dengan cepat, sejalan dengan majunya peradaban manusia di Indonesia. Bicara mengenai hukum di Indonesia, terdapat berbagai cabang hukum yang sering kita pelajari, salah satunya dalah hukum pidana. Hukum pidana melindungi masyarakat dan negara dari kejahatan-kejahatan. Hukum pidana di Indonesia mengalami pembaharuan dan terus mengalami pergeseran, dimana hukum pidana harus bisa menyelesaikan berbagai jenis kejahatan yang terus berkembang, akan tetapi hukum pidana bukanlah alat utama untuk menyelesaikan berbagai jenis kejahatan tersebut. Hukum pidana adalah pilihan terakhir dan tetap pada tujuannya menciptakan masyarakat yang tertib aman dan damai, meski seringkali perkembangan hukum pidana selalu dibilang terlambat atau jauh dibelakang dibandingkan kejahatan-kejahatan publik di masyarakat.
Hukum pidana di Indonesia, mengenal sebuah sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana menurut Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.[1] Pada kesempatan lain Marjono Reksodiputro mengatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari empat sub sistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.[2] Dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang layak atau adil.
Due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.[3]Suatu proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Suatu hukum yang adil dan layak bukan hanya secara formil (undang-undang) namun mengandung penghormatan terhadap hak-hak yang dimiliki warga masyarakat meskipun ia merupakan pelaku kejahatan. Selain itu Due Process Model  adalah model yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian (Hak Asasi Manusia) dimana kedudukan seseorang terdakwa/ tersangka masih melekat HAM padanya, sehingga mereka seharusnya diperlakukan tanpa diskriminasi, model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.
Lembaga permasyarakatan merupakan salah satu subsistem dalam sistem peradilan pidana. Maka menerapkan due proces of law merupakan suatu keharusan untuk mencapai cita-cita sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah sistem, SPP mempunyai tujuan antara lain:1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, 2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana 3)mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.[4] Sementara Muladi menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan jangka pendek, yaitu sosialisasi, tujuan jangka menengah yaitu pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan sosial.[5] Tujuan yang terakhir ini menunjukkan bahwa SPP merupakan pengejawantahan dari politik kriminal, disamping peningkatan peran pers dalam membentuk persepsi buruk tentang kejahatan, dan upaya preventif, seperti social hygienes, dan lain-lain.[6]
            Bicara mengenai Lembaga Permasyarakatan maka merujuk pada tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan menurut Rousseau telah mencari dasar pembenaran dari pemidanaan pada pemikirannya yang terkenal dengan ‘teori kontrak sosial’. Begitu juga Beccaria  telah mencari dasar pembenaran dari pemidanaan pada kehendak yang bebas dari warga negara, yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara, agar mereeka itu mendapat perlindungan dari negara. Teori yang dikembangkan Rousseau dan Beccaria diatas biasa disebut dengan teori pembalasan (vergelding theory) sebagai tujuan utama pemidanaan.[7]
            Mengingat teori pembalasan hanya mementingkan pengimbalan semata-mata tujuan diadakan pemidanaan, tanpa memperhatikan tujuan praktis, dengan maksud untuk  memperbaiki penjahat, maka teori ini mendapat kritik kemudian melahirkan teori tujuan (doel theory). Mempidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan,akan tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertrtentu yang bermanfaat. Jadi dasarnya pembenaran diadakan pemidanaan menurut teori ini terletak pada tujuannya. Dengan demikian, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat suatu kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.[8]
            Menurut Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief, Secara tradisional teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok teori, yaitu : teori absolut atau teori pembalasan dan teori relatif atau tujuan. Teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (Quia Peccatum est), menurut teori ini setiap kejahatan harus diikti dengan pidana. Sedangkan menurut teori relatif, pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pidana dijatuhkan bukan karena  orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccatum).[9]

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :
Apa saja hak-hak narapidana dalam lembaga permasyarakatan di Indonesia dan apakah hak-hak tersebut telah terpenuhi sebagai wujud tercapainya due proces of law dalam sub sistem peradilan pidana yaitu Lembaga Permasyarakatan?
PEMBAHASAN
A.     Hak-hak narapidana dalam Lembaga Permasayrakatan
Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).[10]
Menurut Mardjono Reksodiputro salah satu tujuan sistem peradilan pidana adalah mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi lagi kejahatannya[11]. Tujuan yang diharapkan oleh sistem peradilan pidana tersebut adalah berkaitan dengan pemidanaan. Pemidanaan dalam sistem peradilan pidana merupakan proses paling kompleks karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Di Indonesia pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi vonis oleh hakim berupa pidana penjara, selanjutnya vonis hakim tersebut akan dilaksanakan oleh Jaksa. Pidana penjara ini dilaksanakan dengan “memenjarakan seseorang dalam batas waktu tertentu sehingga ia tidak bebas dalam melakukan aktivitasnya di masyarakat seperti sediakalanya”[12].  Pengertian memenjarakan ini dipahami sebagai suatu upaya penempatan seseorang pada tempat tertutup yaitu penjara yang pada saat ini disebut Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, merupakan wadah bagi narapidana untuk menjalani masa pidananya serta memperoleh berbagai bentuk pembinaan dan keterampilan. Melalui pembinaan dan keterampilan ini diharapkan dapat mempercepat proses resosialisasi narapidana[13].
Meski dalam pernjara, hak-hak dasar narapidana sebagai manusia seharusnya tetaplah didapatkan. Namun potret lembaga permasyarakatan di negeri ini sangatlah tidak tercermin. Padahal lembaga permasyarakatan adalah sistem peradilan pidana terakhir, yang akan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan dan menentukan kehidupan berikutnya bagi narapidana. Dalam lembaga permasyarakatan pula dapat dilihat due proces of law sebagai salah satu upaya peradilan yang adil dapat tercapai atau tidak.
Berikut ini uraian hak-hak narapidana yang telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:
a.       melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.      mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.       mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.      mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.       menyampaikan keluhan;
f.       mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g.      mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h.       menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i.        mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j.        mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k.       mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.        mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m.    mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 (“PP 28/2006”), dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (“PP 99/2012”).
B.      due proces of law dalam lembaga permasyarakatan.
Secara psikologis penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan upaya pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Dalam Sosiologi ekonomi menyatakan, suply and demand dalam hubungannya dnegan faktor lain selalu menjadi variabel berpengaruh (dependent variables). Berarti, pengekangan kebebasan dalam suatu pemenjaraan akan berdampak pada hubungan sosiologis antara petugas (yang powerful) dan penghuni penjara (yang powerless). Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan konflik laten dan terus menerus dealam sebuah sistem sosial masyarakat penjara.[14] Kekuasaan inilah yang akhirnya menimbulkan pertukaran kepentingan antara penjaga lapas dan penghuni lapas. Oknum petugas memanfaatkan kekuasaannya untuk menambah ‘pemasukan’ secara pribadi, begitu pula penghuni lapas yang dapat memanfaatkan petugas untuk memenuhi kebutuhannya di lapas. Atas dasar kekuasaan tersebut, oknum petugas pun dapat semaunya bertingkah terhadap narapidana, oknum petugas tidak dapat melaksanakan perannya dengan hati nurani, sehingga seringkali terjadi kekerasan psikis seperti membentak atau berkata kasar.
Secara ideal, proses akomodasi melalui sistem formal, diamana pada intinya tukar menukar kepentingan didalndasi aturan yang berlaku. Hak-hak penghuni, yang pada hakikatnya merupakan berbagai keinginan untuk mengatasi kesakitan-kesakitan yang dialami narapidana, dipertukarkan dengan kelakukan baik. Hak-hak tersbut tentunya seuai dengan undang-undang. Kendati demikian, secara faktual, kondisi tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan antara lain, masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan disisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi yang makin tinggi. Keadaan demikian pada gilirannya mengakibatkan hubungan tidak seimbang secara ekonomi, antara beberapa golongan penghuni dan oknum petugas. Hal itu berarti bahwa pertukaran kepentingan terjadi antar perorangan dan tidak dapat dielakkan terjadinya KKN antara petugas dengan penghuni.[15] Misalnya, narapidana yang bebas keluar masuk penjara untuk kepentingan pribadi.
Kekerasan atau agresi tidak hanya terjadi antara oknum petugas dengan narapidana, tetapi juga antar narapidana. Narapidana yang powerfull merasa memiliki kekuasaan dan dapat bertindak semaunya untuk mendapatkan kepuasan secara pribadi. Selain berbagai jenis kekerasan tersbut, di media masa juga sering mengabarkan mengenai peredaran narkoba dalam lapas, baik hasil kerjasama dengan oknum petugas maupun tidak. Pada kenyataannya peredaran narkoba dalam lapas juga merupakan satu indikasi tertutupnya tujuan pemidanan yang bermakna due proces of law tidak tercapai.
Hak narapidana yang lain adalah kenyamanan, keamanan dan ketertiban. Dari tahun ke tahun, kapasitas lapas dan rutan tidak dapat lagi dikatakan nyaman, karena hampir seluruh lapas mengalami overcrowded. Kapasitas lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan di seluruh Indonesia hanya sekitar 90.853 orang, akan tetapi jumlah tahanan dan napi pada 2009 sudah mencapai 132.372. dan terus meningkat. Overcrowded bukan satu-satunya persoalan penjara. Direktorat Jendral Permasyarakatan Kementrian hukum dan HAM juga menghadapi overstaying yang pelik. Overstaying dianggap sebagai salah satu penyebab jumlah penghuni penjara melebihi kapasitas. Penelitian yang dilakukan oleh Center for Detentuin Studies (CDS) menemukan bahwa overstaying merupakan fenimena yang biasa terjadi hampir di setiap lapas dan rutan, salah satu penyebabnya dalah keterlambatan ekstrak vonis dan eksekusi putusan.[16] Bagaimana bisa narapidana mendapatkan haknya apabila tempat tinggalnya saja tidak nyaman dan pasti akan berdampak pada kesehatan.
Sebagai wujud perlindungan hak narapidana mengenai pelayanan kesehatan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bahkan mengeluarkan peraturan khusus mengenai pengadaan bahan makanan bagi narapidana, yakni Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, Dan Anak Didik Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (“Permenkumhan 172/2011”).
Lembaga permasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan pemidanaan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sistem permasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan permasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginnya tindak pidana oleh warga binaan permasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.[17]
Secara faktual, upaya pembenahan diri narapidana telah dilaksanakan dengan berbagai cara berdasarkan undang-undang. Namun, selain cara diatas ternyata didalam lembaga permasyarakatan, narapidana secara tidak langsung juga meningkatkan kualitas kejahatan. Seperti yang dikutip dari berita di republika.co.id[18], bahwasanya lapas justru menjadi ‘sekolah tinggi kejahatan’ yang melahirkan mantan narapidana yang melakukankejahatan lebih rapi, terencana, dan kebal terhadap aparat hukum.
Selain itu hak-hak lain yang tidak terpenuhi adalah hak biologis, dimana banyak Lembaga Permasyarakatan tidak memiliki ‘bilik asmara’ bagi narapidana yang memiliki pasangan, sehingga gaya hidup sex bebas dan ‘jual-beli’ perempuan disinyalir terjadi dalam lembaga permasyarkatan  yang berdampak pada perilaku menyimpang sex seperti homo dan lesbian serta penyebaran penyakit sex seperti HIV dan AIDS.
Hak-hak lain seperti hak menerima kunjungan dari keluarga, hak cuti, hak bertemu penasehat hukumnya, hak remisi dan hak pembebasan bersyarat juga tidak dapat terpenuhi seluruhnya atau terpenuhi tetapi dengan tidak manusiawi atau dengan prosedur yang seakan-akan dipersulit oleh oknum petugas Lembaga Permasyarakatan.
Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat dilihat bagaimana hak-hak narapidana tidak dapat terpenuhi, sehingga dapat dikatakan tujuan dari pemidanaan tidak dapat tercapai sepenuhnya. Mengingat banyaknya undang-undang yang selalu menyertakan ketentuan pidana, yang berarti menjadikan pidana penjara merupakan upaya utama dan melupakan asas ultimum remidium yang seharusnya meletakkan pidana penjara adalah jalan terakhir dari suatu perbuatan kejahatan.



PENUTUP
Indonesia merupakan negara hukum, dengan segala sesuatunya dibatasi oleh hukum, tujuannya untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban. Banyak peraturan-peraturan yang muncul merupakan upaya menertibkan masyarakat, tidak terkecuali pada hukum pidana. Hukum pidana mengatur sedemikian rupa mengenai perbuatan di ruang publik. Fungsinya agar setiap orang tidak melanggar hak-hak orang lain. Sehingga tercipta kerukunan dan mencegah adanya kejahatan. Hukum pidana juga berperan pada usaha memenuhi keadilan bagi orang-orang yang hak-haknya diciderai oleh orang lain.
Bicara mengenai hak maka berkaitan erat dengan hak individu dan hak asasi manusia. Hukum Pidana disisi lain ternyata juga membatasi hak manusia, semisal pada seseorang yang divonis penjara, dalam penahanannya serta proses peradilannya, banyak hak individual serta kebebasannya tidak dapat dipenuhi. Akan tetapi hak yang melekat pada diri setiap manusia, seharusnya masih tetap ada dan bisa didapat meskipun ia berada dalam tahanan.
Hak-hak narapidana inilah yang seringkali diciderai oleh oknum petugas lembaga permasyarakatan, meskipun undang-undang telah melindungi hak-haknya. Lembaga permasyarakatan merupakan sub sistem terakhir dalam rantai sistem peradilan pidana, upaya terakhir ini menadi tonggak penting bagi narapidana dan masyarakat luas. Upaya terakhir ini tidak lagi dianggap efektif dilihat dari bertambahnya jumlah narapidana sehingga melebihi kapasitas. Selain itu terlihat fakta dilapangan, bagaimana hak-hak narapidana terus diciderai dan bagaimana kejahatan masih saja dapat terjadi meski didalam penjara seperti peredaran narkoba dan transaksi seks komersil.
Cita-cita peradilan yang layak dan adil (due proces of law) nampaknya masih jauh dalam tatanan sistem peradilan Indonesia khususnya pada sub sistem lembaga permasyarakatan.





[1] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP, 1998. hlm 5.
[2] Marjono Reksodiputro, HAM dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan, 1984. hlm 86.
[3] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm: 48.
[4] Marjono Reksodiputro, HAM dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan, 1984, hlm 86.
[5] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit UNDIP, 1998. hlm 5.
[6] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1981. hlm 54
[7] M Zen Abdullah, Pidana Penjara Eksistensi dan Efektivitasnya,Yogyakarta: Hasta Cipta Mandiri, 2009, hlm.15
[8] Ibid., hlm.17.
[9] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hlm.10-16.
[10]http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari Selasa 16 Februari 2016,  jam 11:24 WIB.
[11] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) : Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Jakarta : Bina Cipta, 1996, hal.15 Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulam Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum-Universitas Indonesia, hal. 84-85.
[12] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm.125.
[13] Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1992, hlm.82
[14] David J cooke dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, penerjemah : Hary Tunggal, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008. Hlm.vi.
[15] Ibid., hlm. vii
[16] http://m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2016.
[17] Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,  Bandung: PT Rafika Aditama, 2006, hlm.103.





BY : VANIE_SFD
 *MOHON UNTUK MENCANTUMKAN SUMBER (JANGAN ASAL COPAS)
 

0 komentar:

Posting Komentar