Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Minggu, 01 April 2012

Boleh tidaknya Dana Talangan Haji


Ibadah haji termasuk ibadah suci yang terdapat dalam rukun Islam yang lima. Maka, ibadah haji menjadi salah satu ibadah yang harus dijalani oleh umat muslim yang mampu. Dari sini jumlah jama’ah haji pun membludak. Untuk mendapatkan kuota secepatnya, para nasabah berinisiatif untuk mencari dana untuk digunakan sebagai talangan terlebih dahulu guna mendaftarkan dirinya di kementrian agama secepatnya. Di sinilah mulai timbul nilai ekonomis dari ibadah haji dan dimanfaatkan dengan baik oleh sektor perbankan, tak ketinggalan perbankan syariah. Perbankan syariah mengeluarkan produk dana talangan haji yang tentu saja memiliki nilai komersial yang berorientasi profit. Dengan demikian, berkembanglah produk dana talangan haji di bank syariah.
Dana talangan haji dalam perbankan memiliki berbagai istilah. Secara garis besar, definisi dari produk ini adalah pinjaman dana talangan dari bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana untuk memperoleh porsi haji pada saat pelunasan. Dengan demikian, dengan produk ini, nasabah dapat mendaftarkan namanya di kementrian agama untuk mengikuti ibadah haji meskipun nasabah tersebut tidak memiliki uang. Selain itu, nasabah dapat mendaftar langsung di bank karena bank tersambung dengan Siskohat milik Kementrian Agama, sehingga nasabah tidak perlu bersusah payah untuk mendaftarkan namanya ke Kementrian Agama.
Sesuai dengan Fatwa DSN MUI nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah[8], akad yang digunakan dalam produk dana talangan haji adalah al-Qardh dan al-Ijarah.
Ketentuan Umum :
1.  Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.  Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.  Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.

Ada beberapa pendapat menganai pembiayaan talangan haji ini, yakni.
Alasan diharamkan:
1.      Dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah.
2.      Penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh.
3.      Akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan.
4.      Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484).

Alasan Dihalalkan:
Jika dicermati Fatwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syari’ah tersebut, memang ada dua jenis akad yakni al-qard dan al-ijarah, tapi  untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang dan jasa.
1.    Akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam.
2.    Akad ijarah al `amal (sewa jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis: ijarah al maal (sewa barang) dan ijarah `al amal (sewa jasa). Dan yang dimaksud oleh Fatwa MUI di atas adalah ijarah al `amal, karena itu dalil-dalil ijarah yang diketengahkan dalam Fatwa DSN itu berkaitan langsung dengan ijarah al `amal, bukan ijarah al maal. Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan umum, bahwa dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah. Nama Fatwanya saja: pembiayaan pengurusan, bukan pinjaman dana haji. Karena itu ada penegasan ketentuan: Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Maka, sebetulnya terpisah antara akad ijarah al` amal (sewa jasa pengurusan haji) dan qardh (pinjaman/talangan) di sini.
Alasan Membolehkan dengan Syarat
1.    Kalau didudukkan perkaranya, maka Talangan haji adalah upaya untuk membuat seseorang memiliki kemampuan untuk berhaji.
2.    Persoalannya adalah apakah talangan haji masuk katagori berhutang?. Jelas masuk katagori berhutang. Dalam hal ini berlaku padanya hukum untuk meminta ijin kepada yang memberikan hutang jika ia mau berangkat haji. Faktanya justru pihak bank yang memberikan fasilitas, berarti ia telah mengijinkan.
3.    Jika demikian dalam kasus talangan haji ini
a.    Jika sesorang secara financial memiliki kepastian untuk membayar talangan dimasa yang akan datang , misalnya karena gaji yang cukup, atau penghasilan lain yang stabil, dan sudah barang tentu masuk dalam perhitungan bank pemberi talangan, maka baginya dapat dikatagorikan sebagai mampu untuk berhaji
b.    Tapi jika ia tidak memilki kepastian melunasinya dan tentu bank tidak akan memberikan talangan pada nasabah yang demikian itu, ia belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
4.    Persoalan lain mungkin muncul yakni apakah seseorang disarankan untuk mencari talangan agar dapat segera berhaji, jawabannya, secara hukum tidak disarankan karena pada saat itu sebenarnya ia belum mampu (lihat al-fiqh al-Islami : 3/2085), Tetapi secara adab dan ketaqwaan bisa saja dengan catatan ia memiliki kecukupan untuk melunasinya dari gaji.
Dari pembahasan diatas, mungkin lebih baik mengambil jalan tengah yaitu membolehkan dengan syarat. Apapun pilihannya alangkah baiknya diperhatikan tujuannya, yaitu yang utama menuju Ibadah yang sempurna dan ditujukan hanya untuk Allah SWT.

#dari berbagai sumber www.google.com

0 komentar:

Posting Komentar