Ibadah haji termasuk ibadah suci yang terdapat dalam rukun Islam yang lima. Maka, ibadah haji menjadi salah satu
ibadah yang harus dijalani oleh umat muslim yang mampu. Dari sini jumlah jama’ah haji pun membludak.
Untuk mendapatkan kuota secepatnya, para nasabah berinisiatif untuk mencari dana untuk digunakan
sebagai talangan terlebih dahulu guna mendaftarkan dirinya di kementrian agama
secepatnya. Di sinilah mulai timbul nilai ekonomis dari ibadah haji dan
dimanfaatkan dengan baik oleh sektor perbankan, tak ketinggalan perbankan
syariah. Perbankan syariah mengeluarkan produk dana talangan haji yang tentu
saja memiliki nilai komersial yang berorientasi profit. Dengan demikian,
berkembanglah produk dana talangan haji di bank syariah.
Dana talangan haji dalam perbankan
memiliki berbagai istilah. Secara garis besar, definisi dari produk ini adalah
pinjaman dana talangan dari bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana
untuk memperoleh porsi haji pada saat pelunasan. Dengan demikian,
dengan produk ini, nasabah dapat mendaftarkan namanya di kementrian agama untuk
mengikuti ibadah haji meskipun nasabah tersebut tidak memiliki uang. Selain
itu, nasabah dapat mendaftar langsung di bank karena bank tersambung dengan
Siskohat milik Kementrian Agama, sehingga nasabah tidak perlu bersusah payah
untuk mendaftarkan namanya ke Kementrian Agama.
Sesuai
dengan Fatwa DSN MUI nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan
Haji Lembaga Keuangan Syariah[8], akad yang digunakan dalam produk dana talangan haji
adalah al-Qardh dan al-Ijarah.
Ketentuan
Umum :
1.
Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah)
dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
9/DSN-MUI/IV/2000.
2.
Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.
Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
4. Besar
imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Ada beberapa pendapat
menganai pembiayaan talangan haji ini, yakni.
Alasan diharamkan:
1. Dalil
yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab
dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara
terpisah.
2. Penggabungan
dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh.
3. Akad qardh
wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah,
disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan.
4. Dalam
akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan
mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab
setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski
besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih
menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram
bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya
haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, 8/484).
Alasan Dihalalkan:
Jika dicermati Fatwa Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji
Lembaga Keuangan Syari’ah tersebut, memang ada dua jenis akad yakni al-qard dan
al-ijarah, tapi untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang dan jasa.
1. Akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di
sini nasabah hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam.
2. Akad ijarah al `amal (sewa jasa), yaitu jasa
pengurusan haji. Sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis: ijarah al
maal (sewa barang) dan ijarah `al amal (sewa jasa). Dan yang dimaksud oleh
Fatwa MUI di atas adalah ijarah al `amal, karena itu dalil-dalil ijarah yang
diketengahkan dalam Fatwa DSN itu berkaitan langsung dengan ijarah al `amal,
bukan ijarah al maal. Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan umum, bahwa dalam
pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-ijarah. Nama Fatwanya saja: pembiayaan pengurusan, bukan
pinjaman dana haji. Karena itu ada penegasan ketentuan: Jasa pengurusan haji
yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
Maka, sebetulnya terpisah antara akad ijarah al` amal (sewa jasa pengurusan
haji) dan qardh (pinjaman/talangan) di sini.
Alasan Membolehkan dengan Syarat
1. Kalau didudukkan
perkaranya, maka Talangan haji adalah upaya untuk membuat seseorang memiliki
kemampuan untuk berhaji.
2. Persoalannya adalah
apakah talangan haji masuk katagori berhutang?. Jelas masuk katagori berhutang.
Dalam hal ini berlaku padanya hukum untuk meminta ijin kepada yang memberikan
hutang jika ia mau berangkat haji. Faktanya justru pihak bank yang memberikan
fasilitas, berarti ia telah mengijinkan.
3. Jika demikian dalam kasus
talangan haji ini
a. Jika sesorang secara
financial memiliki kepastian untuk membayar talangan dimasa yang akan datang ,
misalnya karena gaji yang cukup, atau penghasilan lain yang stabil, dan sudah
barang tentu masuk dalam perhitungan bank pemberi talangan, maka baginya dapat
dikatagorikan sebagai mampu untuk berhaji
b. Tapi jika ia tidak
memilki kepastian melunasinya dan tentu bank tidak akan memberikan talangan
pada nasabah yang demikian itu, ia belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
4. Persoalan lain mungkin
muncul yakni apakah seseorang disarankan untuk mencari talangan agar dapat
segera berhaji, jawabannya, secara hukum tidak disarankan karena pada saat itu
sebenarnya ia belum mampu (lihat al-fiqh al-Islami : 3/2085), Tetapi secara
adab dan ketaqwaan bisa saja dengan catatan ia memiliki kecukupan untuk
melunasinya dari gaji.
Dari
pembahasan diatas, mungkin lebih baik mengambil jalan tengah yaitu membolehkan
dengan syarat. Apapun pilihannya alangkah baiknya diperhatikan tujuannya, yaitu
yang utama menuju Ibadah yang sempurna dan ditujukan hanya untuk Allah SWT.
#dari berbagai sumber www.google.com
0 komentar:
Posting Komentar